Rabu, 09 Februari 2011

BAHAS KEKERASAN: Menteri Agama Suryadharma Ali bersalaman dengan Ketua Komisi VIII DPR Abdul Kadir Karding saat rapat kerja terkait kasus Ahmadiyah dan Temanggung di Gedung Parlemen, Jakarta, kemarin. 



JAKARTA(SINDO) – Pemerintah tidak seharusnya menoleransi segala bentuk aksi kekerasan.Sebaliknya, negara harus menumpas tuntas segala tunas kekerasan di Indonesia,tanpa kompromi dan tanpa memandang agama,ras,ataupun partai politiknya.

Pernyataan ini disampaikan Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan saat merespons kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang,Banten(6/2) dan kerusuhan bernuansa SARA di Temanggung,Jawa Tengah(8/2) yang berakibat jatuhnya korban jiwa dan timbulnya kerugian material. Anies secara tegas menuntut pemerintah agar tidak hanya menonton kekerasan yang menjamur belakangan ini.Dia menandaskan, negara adalah pemegang hak tunggal yang memonopoli kekerasan dan negara haruslah menggunakan monopoli itu untuk menegakkan hukum, bukan untuk menonton kekerasan menjamur. ”Kita berada di ambang ketidakpastian karena negara beberapa kali mendiamkan kekerasan.

Kita marah dan kecewa,”katanya. Tokoh muda yang pernah dimasukkan majalah Foreign Policy dalam daftar 100 Intelektual Publik Dunia melihat, rangkaian kekerasan terjadi karena penegak hukum tidak berdiri tegak melawan kekerasan.Menurut Anies, harus ada perintah tegas untuk ”berantas tanpa syarat”semua kekerasan yang terjadi di negara ini. ”Saya khawatir dengan pembiaran dan penularan yang sedang terjadi di republik ini,”tandas Anies. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merespons aksi kerusuhan dengan menginstruksikan aparat penegak hukum untuk tidak segan-segan membubarkan organisasi masyarakat yang melanggar hukum. Namun, pembubaran itu tidak boleh melanggar aturan hukum dan undang-undang.

”Kepada kelompok-kelompok yang terbukti melanggar hukum, melakukan kekerasan, dan meresahkan masyarakat, kepada para penegak hukum agar dicarikan jalan yang sah dan legal, untuk jika perlu melakukan pembubaran,”tegas Presiden SBY pada peringatan Hari Pers Nasional di Kupang,Nusa TenggaraTimur (NTT),kemarin. Mantan Menkopolkam ini menggariskan, saat ini adalah era kebebasan menyampaikan pendapat, berbicara, dan berkumpul.Tetapi, ormas atau perkumpulan-perkumpulan di masyarakat tidak boleh sekalipun menyerukan penyerangan kepada salah satu kelompok tertentu.

”Kita tidak boleh memberikan ruang dan toleransi terhadap pidato-pidato,seruan-seruan di depan publik kepada komunitas tertentu untuk melakukan serangan, tindakan kekerasan, bahkan pembunuhan,kepada pihak mana pun. Kesemuanya itu jelas-jelas pelanggaran hukum,”ungkap dia. Presiden juga mengimbau masyarakat dan penegak hukum untuk mewaspadai bila ada massa berkumpul yang terindikasi untuk melakukan serangan. ”Jangan dianggap biasa-biasa saja kalau massa berkumpul dalam jumlah yang banyak, yang diketahui akan melakukan tindakan kekerasan kepada pihak lain,”kata dia.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi saat dikonfirmasi sikap Presiden mengaku tengah mendalami seluruh ormas keagamaan maupun nonkeagamaan yang dinilai meresahkan masyarakat. ”Kita tengah mendalami itu semua, di undang-undang ada itu semua,ada syarat-syarat tertentu kalau memang melanggar itu bisa dibubarkan,” ungkapnya. Menurut dia, pembubaran ormas sangat mungkin dilakukan. Mantan Gubernur Sumatera Barat ini menunjuk Pasal 18 hingga Pasal 24 PP No 18/1986 tentang Ormas yang menyebutkan bahwa sebuah ormas dapat dibubarkan apabila mengganggu keamanan dan ketertiban umum, menerima bantuan asing yang menghasut untuk melakukan kerusuhan,dan sebagainya.

Pembubaran juga bisa dilakukan jika ormas bersangkutan menyebarluaskan permusuhan antarsuku, agama, ras, dan antargolongan, memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa,merongrong kewibawaan dan mendiskreditkan pemerintah, menghambat pelaksanaan program pembangunan dan kegiatan lain yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan. ”Iya, jadi itulah yang sekarang sedang kita dalami, temuan- temuannya seperti apa, karena kita mengambil tindakan harus berdasarkan fakta,”tegasnya. Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo mengakui dalam peristiwa Cikeusik dan Temanggung ada ketentuan dan proses hukum yang memang dilanggar. Meski demikian, kepolisian masih mendalami unsur-unsur pelanggarannya.

Jika ada fakta-fakta yang mendukung, tidak menutup kemungkinan akan ada pembubaran ormas. Namun, mengenai aksi kekerasan belakangan ini, Timur melihat hal baru sebatas tindakan yang dilakukan perorangan dan bukan atas nama organisasi.”Kalau perorangan,saya kira bukan menyangkut organisasi yah, jadikan selama ini kan perorangan,” katanya. Mantan Kapolda Metro Jaya ini kemudian menegaskan bahwa pihaknya akan menindak tegas setiap pelanggaran sesuai ketentuan hukum mulai dari peringatan hingga tindakan tegas lainnya yang tidak mengakibatkan situasi menjadi lebih buruk.

Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan (Kemhan) Marsekal Madya Eris Herryanto di Kantor Kementerian Pertahanan (Kemhan) menilai kerusuhan dan konflik bernuansa SARA yang terjadi belakangan ini sebagai ancaman kuat terhadap pertahanan dan stabilitas negara. ”Pemerintah menyadari ancaman ini spektrumnya sangat luas. Bukan lagi tradisional, tapi juga nontradisional. ’Non’ juga dapat dibagi-bagi menjadi aktor perseorangan, kelompok organisasi. Jadi konflik bernuansa SARA itu merupakan ancaman,”ujarnya.

Namun, lanjut Eris, meskipun ada kaitannya dengan stabilitas dan pertahanan, di dalam kebijakan umum pertahanan negara, konflik-konflik ini tidak sepenuhnya bermuara pada Kementerian Pertahanan (Kemhan). Masingmasing institusi memiliki porsi masing-masing untuk menanggulangi. ”Jadi sekarang ancaman ini dari mana leading sector-nya dari kementerian bersangkutan. Pandemi flu burung misalnya itu merupakan ancaman terhadap pertahanan juga, tetapi leading sectornya Kementerian Kesehatan. Kalau kriminal polisi,”ucapnya.

Peran Intelijen Dipertanyakan

Komisi VIII DPR mempertanyakan peran intelijen Polri yang dianggap lemah dalam mengantisipasi dua kerusuhan massa di Pandeglang, Banten dan Temanggung, Jawa Tengah.Anggota DPR Imran Muchtar mengatakan, intelijen Polri tidak memiliki peran nyata untuk mengantisipasi kerusuhan di dua wilayah itu.”Jadi di mana peran intelijen Polri? Polri sudah kecolongan dalam kerusuhan ini,”ujar Imran dalam rapat dengar pendapat Komisi VIII dengan Kapolri dan Menteri Agama di Gedung DPR tadi malam.

Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo menyangkal jika intelijen Polri dikatakan tidak berperan untuk mengantisipasi dua insiden tersebut.Menurutnya,intelijen sudah bekerja optimal mengumpulkan informasi dari masyarakat dan meresponsnya. ”Intelijen sudah memberikan prediksi selama dinamika berjalan. Itu sudah dijalankan. Apa yang terjadi itu dinamika,” ujar Timur. Pada kesempatan itu, Timur mengungkapkan, Polri sudah melakukan tindakan preventif untuk mengantisipasi kerusuhan di daerah-daerah tertentu yang berstatus rawan. Menurut catatan Polri, selama 2010 terjadi 16 kasus kerusuhan bernuansa SARA. Dari jumlah itu, tujuh kasus di antaranya terkait Ahmadiyah. Sisanya menyangkut kasus lain seperti aliran kepercayaan dan pendirian rumah ibadah.

Adapun tahun ini hingga pertengahan Februari terjadi tiga kasus kerusuhan massa yang menyangkut SARA.”Dua kasus Ahmadiyah di Makasar dan satu kerusuhan penistaan agama di Temanggung,”ungkap Timur. Sebelumnya kementerian terkait juga menggelar rapat koordinasi. Rapat yang dipimpin Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Djoko Suyanto ini dihadiri Menkokesra Agung Laksono, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, Mendagri Gamawan Fauzi, Menteri Agama Suryadharma Ali, Jaksa Agung Basrif Arief,Kepala Badan Intelijen Negara Sutanto, dan Kepala Staf Umum TNI Marsdya Edi Harjoko. Kepada wartawan, dia menyatakan bahwa antisipasi dini harus mendapatkan perbaikan.

Berdasar laporan Kepala BIN, lanjut Djoko, aparat-aparat intelijen di daerah telah melaksanakan tugas pendeteksian sesuai prosedur. ”Tetapi, masih harus ditajamkan dan disinergikan dengan aparat intelijen instansi lain seperti Polri, TNI,kejaksaan,”ujarnya. Dia juga menegaskan bahwa pencegahan dini bukan hanya tanggung jawab Polri. Pemda dan satuan-satuan milik TNI juga dapat berperan mewaspadai gerakan- gerakan secara dini yang diperkirakan akan menimbulkan kerusuhan atau perusakan. ”Harus ada inputsatu sama lain dan sinergi agar pencegahan dini dapat berjalan,” katanya.Sinergi juga harus dilakukan pada tindakan preventif berupa pengerahan kekuatan yang sesuai untuk mencegah.

Sementara itu, pengamat pertahanan dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Rizal Darma Putra menilai, ada indikasi kuat terjadi pembiaran oleh aparat keamanan dalam kerusuhan tersebut. Padahal aparat keamanan memiliki perangkat untuk mencegah kerusuhan tersebut, baik aparat intelijen negara, aparat keamanan,maupun TNI. ”Di Temanggung ada pos wilayah Badan Intelijen Negara Jateng.Kodam memiliki Babinsa dan Polri punya Babinkamtibmas sampai level desa.Kenapa ini tidak bisa mendeteksi. Kemudian di lapangan pengerahan pasukan tidak optimal,”ungkapnya.

Menurut dia, jika Polri, TNI, serta intelijen telah memiliki informasi dini namun tidak ditindaklanjuti dengan pencegahan, aparat telah turut terlibat dalam merekayasa kerusuhan. Karena itu, Rizal mendesak perlu ada tim independen untuk menginvestigasi kinerja aparat keamanan. ”Rantai komandonya seperti apa.Mengapa tidak berjalan untuk mengantisipasi,” ujarnya.Tim dapat terdiri atas anggota DPR, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kompetensi terhadap keamanan. (sucipto/pasti liberti)